Di
Belakang 5000 Pucuk Senjata
Pada Jumat, 22 September 2017 lalu, negara sempat
digemparkan oleh pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengenai
ditemukannnya 5.000 pucuk senjata api illegal di Gudang Kargo Unex Bandara
Soekarno-Hatta. Pernyataan ini disampaikan Gatot kepada publik dalam pidatonya
pada acara reuni dengan purnawirawan TNI. Keluarnya pernyataan ini mengguncang
masyarakat maupun pemerintah, lantaran penemuan senjata ini mengindikasikan
tidak ada pihak yang secara jelas mengetahui keberadaan ataupun pengiriman
senjata ini. Selebihnya, pernyataan Gatot memberikan kesan kalau terdapat pihak
tidak diketahui di luar TNI dan POLRI yang berupaya mempersenjatai diri demi menyaingi
kedua badan tersebut. Ketika pernyataan tersebut dikeluarkan, tidak ada yang
tahu jelas pemesan dan tujuan akhir senjata-senjata tersebut. Pernyataan Gatot,
beserta ralat, klarifikasi, dan komentar pihak lain dalam hari-hari sesudahnya
menyebabkan dinamika politik dalam pemerintahan.
Setelah proses deliberasi antar pihak-pihak
berkepentingan, muncul kejelasan melalui pernyataan publik bahwa
senjata-senjata tersebut dipesan dari PT PINDAD oleh POLRI. Senjata tersebut
dipesan untuk memperlengkapi personil POLRI dan badan negara lainnya yang
berkaitan dengannya seperti BNN. Menteri Koordinasi bidang Politik Hukum dan
Kemanan Wiranto beserta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menyampaikan
kalau jumlah senjata yang diadakan hanya 519 pucuk saja, bukan 5000 pucuk.
Termasuk dalam 519 senjata ini adalah pistol dan stand-alone-grenade-launcher (pelontar granat mandiri) berikut
munisinya.
Namun terlepas dari latar belakang dan kepentingan, keberadaan
dan pergerakan 519 pucuk senjata api merupakan jumlah yang terlalu besar untuk
tidak diketahui petinggi-petinggi negara, termasuk Panglima TNI dan DPR. Pada
tanggal 24 September 2017, Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin memberikan
pendapat dan komentarnya. TB Hasanuddin berpendapat kalau 5.000 pucuk cukup
untuk mempersenjatai empat hingga lima batalyon tempur. Informasi yang
disampaikan Gatot mengenai jumlah senjata tersebut mungkin akurat, namun TB
Hasanuddin juga berpendapat kalau pengadaan senjata merupakan isu sensitif.
Perkara demikian dapat meresahkan masyarakat dan sebaiknya tidak disampaikan
secara publik. Tindakan Gatot dapat dipandang sebagai suatu yang tidak pada
tempatnya.
Dengan adanya kejelasan mengenai jumlah, pemesan, dan
tujuan senjata tersebut perhatian publik kini beralih ke Gatot sendiri.
Tindakan Gatot yang dipandang tidak peka dan tepat berdampak pada keadaan
politik Indonesia. Dari sudut pandang teknis, keputusan Gatot untuk mengumbar
penemuan dan pengadaan senjata secara terbuka kepada publik amat tidak profesional.
Pengadaan alutsista TNI dan POLRI merupakan sesuatu yang bersifat tertutup dan
terbatas. Apabila informasi akan pengadaan alutsista dibuat publik, informasi
tersebut dapat disalahgunakan lawan-lawan pemerintah Indonesia entah dari dalam
atau luar negeri. Pihak tertentu, seperti intelijen negara asing ataupun
teroris, dapat memetakan kekuatan militer dan kemampuan aparatur negara melalui
informasi ini.
Selain meresahkan masyarakat dan tidak professional, pernyataan
Gatot berpotensi menyebabkan kisruh antar badang-badan dalam pemerintahan. Pernyataan
Gatot dapat mengimplikasikan adanya badan-badan pemerintahan selain TNI yang
kurang cakap dalam melakukan bagiannya. Badan-badan seperti komisi I dan III
DPR, Kemenhukam, Kemenhan, BIN, PT PINDAD dan bahkan presiden gagal mengetahui
atau memberitahukan informasi ini kepada TNI. Pernyataan ini seakan-akan
menunjukkan kalau badan-badan tersebut kurang baik melaksanakan tugasnya.
Apabila hal ini benar badan-badan tersebut berpotensi menuduh satu sama lain,
membuat pemerintahan menjadi tidak stabil.
Selain itu, masalah ini menjadi lebih memprihatinkan
karena dapat menyebabkan kisruh antara TNI dengan POLRI. Pernyataan gatot tidak
akan membuat relasi kedua badan negara yang memonopoli hak penggunaan kekerasan
menjadi lebih baik. Memang terdapat persaingan diantara kedua badan tersebut,
mengingat adanya factor esprit de corps
sejak era ABRI dan mengenai otoritas penanganan terorisme. Namun, persaingan
tersebut tidak terbuka kepada publik. Pernyataan Gatot justru menunjukkan
adanya relasi kurang baik antara TNI dan POLRI kepada publik.
Lantas dari perspektif teknis atau struktural,
pernyataan Gatot merupakan tindakan yang tidak tepat. Langkah tersebut
menyebabkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan bagi negara.
Pernyataan Gatot membuka pengetahuan rakyat akan adanya permasalahan dalam
pemerintahan dengan harga terjadinya instabilitas dalam pemerintahan. Mungkin
pilihan tersebut bukanlah pilihan yang buruk. Pilihan ini sedikit banyak memang
mendekatkan jalannya kenegaraan pada masyarakat dan secara longgar berhubungan
dengan konsep transparansi. Pula selaku panglima, pada HUT TNI ke 72 pada
tanggal 5 Oktober lalu, Gatot sendiri sudah menyatakan kalau dia hendak
menghindari terbentuknya angkatan kelima dan peristiwa G30S/PKI yang juga
didahului dengan pengadaan senjata di luar pengetahuan TNI seperti pada hari
ini. Keprihatinan Gatot dapat dipahami, sebab membagikan senjata kepada
institusi selain TNI dan POLRI berpotensi membentuk badan baru dengan
kapabilitas menantang keduanya. Keresahan gatot juga dapat dimengerti sebab
senjata yang diadakan termasuk pelontar granat dengan peluru hidup yang tidak
termasuk kategori senjata ringan untuk menangkap kriminal dan mengendalikan
massa. Terlepas dari motif dan alasannya, pernyataan Gatot telah memberikan
dampak politik yang jelas pada masyarakat dan negara.
Satu-satunya kejanggalan dalam peristiwa ini terdapat
pada Panglima Gatot sendiri. Dengan jabatan dan pengalamannya, Gatot seharusnya
tahu dan sadar betul akan konsekuensi dari pilihannya untuk mendeklarasikan
penemuan senjata illegal, entah dari sumber dalam TNI ataupun dari publikasi
umum yang dia dapatkan sebelum pidato reuni purnawirawan tersebut. Penyelesaian
permasalahan ini secara tertutup antar insitusi merupakan langkah yang tepat
untuk menghindari kerusakan tambahan. Namun alih-alih melakukan hal itu,
keputusan Gatot lebih memilih untuk mengumbarnya dalam ranah publik. Masalah
tetap tidak terseselesaikan dengan keputusan ini dan semua orang kini
mengetahuinya. Gatot memilih keputusan yang lebih banyak menghasilkan kerugian;
sebuah langkah yang tidak rasional dari sudut pandang profesionalisme.
Namun kenyataannya, keputusan tersebut tetap diambil
dengan penuh kesadaran dan sukarela. Hal ini mengindikasikan kalau langkah
tersebut tetaplah rasional dan menguntungkan Gatot, namun dari perspektif lain.
Bukan perspektif profesionalisme, namun perspektif politik. Secara politik keputusan
gatot dapat dimaknai sebagai Gatot mempertanyakan otoritas-otoritas yang ada di
sekitar dia; atau dengan lain kata menantang otoritas-otoritas tersebut.
Keberanian untuk melakukan langkah-langkah tersebut menunjukkan kehendak Gatot
untuk tidak dianggap sebagai bawahan dalam rantai komando militer-pemerintahan,
namun sebagai aktor politik yang setara dengan pejabat dan birokrat lainnya.
Pidato dan wacana rumusan masalah Gatot menarik badan-badan atau aktor-aktor
politik lain ke sebuah even playing ground,
di mana Gatot mendikte persyaratannya sendiri. Dengan demikian, dia memiliki
peluang lebih baik untuk menaikkan dirinya, melemahkan pejabat lainnya, atau
setidaknya mengguncang kepemimpinan yang ada. Apabila ini kasusnya, asalannya
untuk bertindak dapat diperhitungkan sebagai pembenaran dan dalih untuk
mendapatkan dukungan rakyat. Pidato tersebut bukanlah suatu kesalahan klerikal,
namun sebuah tindakah berbobot politis.
Gatot merupakan seorang profesional berpengalaman
dalam bidang kemiliteran. Langkah-langkahnya bukan tanpa perhitungan dan
alasan. Dalam pangkat dan jabatannya, setiap keputusan dan tindakannya
setidaknya terdiri atas dua lapis, yakni lapis teknis dan lapis politis.
Melihat dari apa yang terjadi pada kasus ini sendiri, terlepas dari fenomena
dan permasalahan politik lainnya di negara ini, lapis politis dari tindakan ini
terlihat jelas. Apapun tujuan akhirnya, Gatot menhendaki kekuasaan lebih
tinggi, entah dengan menurunkan legitimasi kuasa pemerintahan atau membuat
dirinya sebagai “pahlawan” yang membela konstitusi. Keputusan untuk mengumbar
permasalahan tidak membawa faedah lebih daripada faedah kepada Gatot sendiri.
Terlepas dari apapun niatan Panglima TNI dan apapun
yang telah terjadi, terjadinya peristiwa ini dapat diperhitungkan sebagai
masalah miskomunikasi antar badan-badan pemerintah berikut pejabatnya.
Peristiwa ini menunjukkan kurangnya komunikasi antar badan-badan yang terlibat
dengan pengadaan senjata. Terjadinya hal ini amat sangat dimungkinkan karena
kurang digarapnya undang-undang pengadaan senjata di negara ini, terlebih pasca
reformasi 1998. Undang-undang pengadaan senjata, masih kurang komprehensif pasca
pecahnya ABRI melalui pemisahan POLRI dari TNI. Walau dalam undang-undang sudah
jelas institusi yang dapat menggunakkan, belum ada peraturan jelas mengenai
kepada siapa permintaan senjata harus diajukan, kepada siapa senjata harus
dijual (aktor dalam kedua insitusi, institusinya, atau panglimanya), di bawah
otoritas siapakah senjata dapat diadakan, dan siapakah yang berhak mengadakan
atau memesan senjata tersebut. Permasalahan yang diungkapkan Gatot terjadi
karena POLRI merasa dirinya berhak mengadakan persenjataan tanpa sepengetahuan
TNI yang juga memiliki otoritas atas pengadaan senjata. Peluang terjadinya
masalah akan selalu ada selama undang-undang tersebut tidak dikaji ulang dan
dibuat lebih komprehensif. Kasus ini menyingkapkan keberadaan celah hukum bagi
pemerintah yang berkuasa sekarang. Terima kasih kepada Panglima TNI Jenderal
Gatot Nurmantyo, kini tersingkap satu lagi PR bagi negara dan pemerintah yang
tengah melakukan reformasi dan demokratisasi.